Kamis, 22 Oktober 2009

efinisi pasar

Pengertian / Definisi Pasar dan Faktor Produksi - Ilmu Ekonomi Manajemen
Thu, 18/05/2006 - 7:47pm — godam64
Dalam pengertian yang sederhana atau sempit pasar adalah tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Definisi pasar secara luas menurut W.J. Stanton adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya.
Pada umumnya suatu transaksi jual beli melibatkan produk/barang atau jasa dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.
Kegiatan faktor produksi adalah kegiatan yang melakukan proses, pengolahan, dan mengubah faktor-faktor produksi dari yang tidak/kurang manfaat/gunanya menjadi memiliki nilai manfaat yang lebih. Faktor- Faktor produksi yang umumnya digunakan adalah tenaga kerja, tanah, dan modal. Kelangkaan pada suatu faktor produksi biasanya akan menyebabkan kenaikan harga faktor produksi tersebut.
http://organisasi.org/pengertian_definisi_pasar_dan_faktor_produksi_ilmu_ekonomi_manajemen


DEFINISI/PENGERTIAN PASAR (MARKET)
Posted on 24 Maret 2009 by Danfar
Menurut William J. Stanton (1993:92) pasar dapat didefinisikan sebagai berikut :
“ Pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan untuk membelanjakannya”.
Dari definisi diatas terdapat 3 unsur penting didalam pasar yaitu :
1. Orang dengan segala keinginannya
2. Daya beli mereka
3. Kemauan untuk membelanjakannya
Pasar atau konsumen dapat dibedakan menjadi dua golongan, yakni konsumen akhir (pasar konsumen) dan pasar bisnis (pasar industri). Dimana pasar konsumen adalah sekelompok pembeli yang membeli barang-barang untuk dikonsumsi dan bukannya untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan pasar bisnis adalah pasar yang terdiri dari individu-individu atau organisasi yang membeli barang untuk diproses lagi menjadi barang lain dan kemudian dijual. Berdasarkan pengertian tersebut, sebagai contoh maka petani digolongkan kedalam pasar bisnis, sebab mereka membeli barang digunakan untuk diproses lebih lanjut menjadi barang-barang hasil pertanian.
Philip Kotler (1997), mengemukakan beberapa keputusan utama yang terlibat dalam keputusan pembelian dari pasar bisnis, diantaranya berkenaan dengan menentukan :
1. Spesifikasi produk
2. Batas harga
3. Persyaratan waktu pengiriman
4. Persyaratan layanan
5. Persyaratan pembayaran
6. Jumlah pemesanan
Keputusan yang diambil oleh para pembeli pada dasarnya dihubungkan dengan segi keinginannya dalam pemenuhan kebutuhan. Dan hal tersebut merupakan upaya dalam mencari suatu kepuasan. Dalam kegiatan pemasaran, pemahaman atas perilaku pembelian konsumen merupakan hal yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Sebuah alasan mengapa orang membeli produk tertentu (Product Buying motive) atau membeli pada penjual tertentu (Patronage Buying Motive), ini merupakan faktor yang sangat penting bagi penjual dalam menentukan program promosi yang efektif, desain produk, harga, saluran distribusi yang efektif dan beberapa aspek lain dari program pemasaran perusahaan. Motif yang ada pada seseorang akan mewujudkan tingkah laku yang diarahkan pada tujuan mencapai kepuasan. Sedangkan tingkah laku yang diarahkan pada tujuan dipengaruhi oleh pandangan seseorang. Oleh karena itu perlulah mengetahui mengapa konsumen bertingkah laku demikian. Dengan meninjau lebih jauh kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya tingkah laku konsumen itu dimulai dengan suatu motivasi.
Adapun menurut Basu Swasta (1984:87) mengemukakan bahwa :
“ Motivasi adalah suatu dorongan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan “.
Dari pengertian diatas maka dapat diketahui bahwa keinginan dari seseorang itu pada dasarnya untuk memperoleh suatu kepuasan bagi dirinya. Kepuasan pelanggan merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan dalam pemasaran sebab hal tersebut yang menjadi salah satu kunci keberhasilan pemasaran. Philip Kotler (1997:36) memberikan definisi kepuasan sebagai berikut :
“ Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya “.
Seperti dijelaskan dalam definisi diatas kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja dibawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang. Dengan demikian pembentukkan kepuasan pelanggan perlu terus menerus diupayakan, agar pelanggan akan tetap setia pada perusahaan atau produk kita dan merupakan cara untuk menarik konsumen lainnya.
http://dansite.wordpress.com/2009/03/24/definisi-pasar-market/
Pasar Tradisional yang kian Terpinggir
SEKARANG, "pasar swalayan modern" banyak dibangun dalam bentuk mal, minimarket, supermarket atau hypermarket. Kehadirannya seperti mulai kian berlebihan dan memberi dampak pada wajah arsitektur kotanya. Terkendalikah pertumbuhannya? Sudahkah bercitra Bali? Lantas, bagaimana peran, makna dan fungsi keberadaan pasar tradisional ke depan?
Memang banyak faktor yang mempengaruhi makna sebuah tempat (place) dan ruang (space) sebuah pasar secara arsitektural. Eksistensi suatu ruang publik kiranya bisa dikaji dari segi konteks, citra dan estetikanya. Dengan kata lain, keberadaan sebuah pasar tradisional, serta kaitan antara tempat lainnya masing-masing, tak boleh tercerabut dari pemahaman manusia yang hidup dan bergerak di dalamnya. Lantaran dimensi ruang publik bersifat sosio-spasial, maka makna keberadaan sebuah pasar tradisional di dalam kota tak semata memberi nilai bagi diri sendiri, melainkan juga untuk orang-orang yang hidup dan beraktivitas di "ruang" kota setempat.
Di sisi lain, mal, minimarket, supermarket atau semacamnya, boleh dikata sebagai wujud implementasi fisik perdagangan dari sistem budaya asing (kapitalis?), sehingga nilai keuntungan ekonomi jauh lebih banyak direguk pihak "luar". Sekarang, "pasar swalayan modern", tumbuh secara sporadis di kota-kota besar Indonesia, maupun di kota-kota kabupaten di Bali. Bahkan ditengarai -- oleh banyak pengamat -- akan menyisihkan unit-unit usaha mikro dan menengah yang umumnya dilakukan kalangan rakyat kecil atau pemodal pas-pasan.
Sementara pasar tradisional memiliki nilai peradaban asal muasal tempat tukar menukar barang atau jual beli bahan makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga. Sekaligus sebagai ajang berkumpul (arti harafiahnya) yang di dalamnya terjadi akomodasi interaksi sosial dan ekonomi. Pasar itu sendiri dalam bahasa Bali atau Jawa, disebut dengan peken, konon punya arti "kumpul" (mapeken = berkumpul?).
Pada ruang pasar atau peken tak ada manifestasi kekuasaan atau semata unggulkan keuntungan besar. Namun, arsitektur pasar lebih dipahami sebagai sebuah "wilayah", ranah berkumpul, berperan selaku "media temu muka" saling berinteraksi, tukar menukar barang, jual-beli atau tawar menawar. Justru pemaknaan dan nilai-nilai inilah dianggap sebagai sentralnya. Ihwal tersebut dapat diamati pada awal adanya pasar tradisional di desa yang umumnya berlokasi di area terbuka, di bawah pohon beringin besar atau pepohonan rindang yang di dalamnya terjadi komunikasi antar-personal, interaksi humanistik sosial ekonomi.
Lantas, guna lebih menghidupkan dan mengembangkan pasar tradisional, langkah-langkah apa yang mesti dilakukan? Bagaimana wujud arsitektural sebuah pasar yang memenuhi kebutuhan dan tuntutan ruang publik secara berkualitas? Sejauh mana konsep yang baik dari sebuah pasar tradisional bisa diterapkan?
Agaknya diperlukan sebuah konsep yang jelas dan utuh dari sebuah pasar tradisional. Ditransformasikan berdasarkan perkembangan teknologi masa kini. Misalnya, bagaimana mewujudkan tampilan arsitekturalnya yang memenuhi fungsi, kenyamanan dan kenikmatan. Juga sistem penghawaan, drainase atau sanitasi yang hygienis, keamanan serta penyediaan tempat parkir yang memadai. Selain hal-hal teknis juga ada upaya melestarikan "budaya kumpul", interaksi sosial maupun ekonomi. Bukankah itu sesungguhnya makna dari keberadaan sebuah peken?

Lebih Humanis
Ada beberapa pendekatan yang mungkin perlu dilakukan untuk memberi nilai-nilai yang lebih humanis dan bermakna. Misalnya dari sisi pendekatan fungsi, teknis maupun estetikanya. Jika pasar memiliki fungsi campuran dari beberapa jenis pedagang yang berjualan hendaknya dilakukan pengelompokan jenis komoditi, agar bisa ditata menurut nilai-nilai tata ruang yang berkearifan lokal. Dengan lain kata, ada tatanan penempatan. Bisa diawali dari hal makro hingga ke mikro. Dari landasan falsafah dan konsep Tri Hita Karana, tatanan tri mandala hingga hirarkhi hulu-teben.
Dari sisi pendekatan teknis secara umum, faktor kekokohan sebuah arsitektur pasar dapat memberi jaminan keamanan secara teknis dan diwujudkan dengan pengawasan yang ketat. Aspek-aspek teknis konstruksinya diupayakan bisa diterjemahkan ke prinsip-prinsip bentuk konstruksi arsitektur Nusantara (Bali). Dengan demikian akan dapat menunjang karakter kekokohan sebuah pasar tradisional, bercitra kearifan lokal.
Bagaimana dengan pendekatan estetikanya? Ekspresi arsitektural (termasuk pasar) memiliki unsur-unsur "isi" (content) yang membentuk karakter arsitektur dan unsur "bentuk" (form) yang menampilkan estetika.
Dalam unsur "isi" meliputi beberapa hal penting: (a) aktivitas, civitas (orang-orang), falsafah hidup dan perilaku manusia yang ada di dalamnya; (b) simbol fungsi dan makna, yang memberi gambaran atau kesan kepada pengamat tentang fungsi dan makna suatu bangunan; (c) ekspresi teknis, pemberi "karakter" teknis konstruktif, baik secara struktural maupun ornamental.
Di sisi lain unsur "bentuk" yang merajut estetika bangunan secara universal diwujudkan melalui suatu komposisi elemen-elemen pembentuknya. Komposisi itu mengandung prinsip penyusunan unsur-unsur yang terdiri dari titik, garis, bidang, warna, tekstur, efek sinar/pencahayaan, skala, ruang, massa, ornamen.

Konsep Rancangan
Dari paparan di atas, rancangan sebuah pasar tradisional patut menganut kaidah-kaidah rancangan, dijiwai konsep dasarnya sebagai landasan berpijak di dalam merancang sebuah pasar.
Beberapa hal agaknya bisa digunakan sebagai acuan rancangan sebuah pasar tradisional, antara lain: (1) sediakan ruang-ruang kegiatan jual beli berdasarkan kelompok pedagang masing-masing, semisal ada area penjualan yang sama jenis barang dagangannya; (2) wujudkan ruang sirkulasi yang efektif di dalam maupun di lingkungan pasar; (3) terlindung dari pengaruh cuaca, hujan, panas mentari, bau; (4) sediakan ruang emergency bagi publik bila mengalami situasi darurat, seperti terjadi kebakaran, gempa bumi; (5) manfaatkan pemasukan cahaya alami; (6) posisikan sirkulasi udara secara optimal; (7) bentuk massa sederhana, struktur rangka ruang, bersifat fleksibel; (8) sediakan ruang parkir yang cukup dan berpeluang untuk bisa dikembangkan; (9) selesaikan secara teknis dan arsitektural sanitasi lingkungannya; (10) wujudkan rancangan yang dapat memberi rasa aman dan nyaman.
Dengan demikian, kultur lokal sebuah pasar tradisional tetap bisa diangkat dan ditumbuhkembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Tradisi kultural sebuah pasar berakar dari pola kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Bahkan untuk di Bali terkait dengan religiositas-spiritual manusianya selaku pengguna pasar tradisional. Misalnya di area hulu di dirikan tempat suci -- Pura Melanting, tempat para pedagang bersembahyang (muspa) atau berdoa.
Kiranya semua itu ada tertuang di dalam Perda (Peraturan Daerah). Tinggal bagaimana pengawasan atau kontrol dilakukan di lapangan, agar tak terjadi penyimpangan, mulai dari proses perizinan hingga pembangunan fisiknya. Terutama terhadap seberapa jauh diperkenankan tumbuh dan berkembangnya mal, minimarket, supermarket atau hypermarket di daerah, disesuaikan dengan daya dukung lahan Bali. Tentu di dalamnya ada pula diatur tentang peruntukan penggunaan lahan atau ketentuan lain yang mesti dipatuhi.
Mengungkap konsep yang diuraikan di atas, agaknya hal itu bisa diterapkan ke dalam rancangan sebuah pasar tradisional, dengan segala pernik-pernik transformasinya. Kendati ada pihak-pihak yang menghawatirkan pasar tradisional akan jadi redup ke sisi marginal, atau tersingkirkan oleh merebaknya mal, supermarket, hypermarket.
Kekhawatiran itu tentu akan sirna, bila (1) peran, makna dan fungsi pasar tradisional dikembalikan pada hakikat dan karakter pasar tradisional yang sebenarnya, dengan transformasi yang disesuaikan dengan kondisi saat ini, (2) tegas dan konsisten melaksanakan aturan atau ketentuan dalam Perda, utamanya menyangkut tentang batasan jumlah "pasar swalayan modern" yang diperkenankan berdiri di suatu kawasan, dan (3) konsep-konsep arsitektural pasar tradisional yang telah dijabarkan bisa diimplementasikan secara bijak.
I.1.Pengenalan Perbelanjaan,
I.1.1.Pusat Perbelanjaan
I.1.1.1 Pengertian
o Adalah kompleks pertokoan yang dikunjungi untuk membeli atau melihat dan membandingkan barang-barang dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sosial masyarakat serta memberikan kenyamanan dan keamanan berbelanja bagi pengunjung.
o Adalah sebagai suatu kelompok perbelanjaan (pertokoan) terencana yang dikelola oleh suatu manajemen pusat, yang menyewakan unit-unit kepada pedagang dan mengenai hal-hal tertentu pengawasannya dilakukan oleh manajer yang sepenuhnya bertanggungjawab kepada pusat perbelanjaan tersebut. (Nadine Bednington 1982)
I.1.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan
a. Dilihat dari luas areal pelayanan berdasarkan U.L.I. standar (Shopping Centers, Planning, Development & Administration, Edgar Lion P.Eng )
o Regional Shopping Centers :
Luas areal antara 27.870 – 92.900 m2, terdiri dari 2 atau lebih yang seukuran dengan department store. Skala pelayanan antara 150.000 – 400.000 penduduk, terletak pada lokasi yang strategis, tergabung dengan lokasi perkantoran, rekreasi dan seni.
o Community Shopping Centre :
Luas areal antara 9.290 – 23.225 m2, terdiri atas junior departmen store, supermarket dengan jangkauan pelayanan antara 40.000-150.000 penduduk, terletak pada lokasi mendekati pusat-pusat kota (wilayah).
o Neigbourhood Shopping Centre :
Luas areal antara 2.720 – 9.290 m2. Jangkauan pelayanan antara 5.000-40.000 penduduk. Unit terbesar berbentuk supermarket, berada pada suatu lingkungan tertentu.
b. Dilihat dari jenis barang yang dijual ( Design for Shopping Centers, Nadine Beddington ).
o Demand (permintaan), yaitu yang menjual kebutuhan sehari-hari yang juga merupakan kebutuhan pokok.
o Semi Demand (setengah permintaan), yaitu yang menjual barang-barang untuk kebutuhan tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
o Impuls (barang yang menarik), yaitu yang menjual barang-barang mewah yang menggerakkan hati konsumen pada waktu tertentu untuk membelinya.
o Drugery, yaitu yang menjual barang-barang higienis seperti sabun, parfum dan lain-lain.
c. Sistem Sirkulasi Pusat Perbelanjaan
1. Sistem Banyak Koridor
o Terdapat banyak koridor tanpa penjelasan orientasi, tanpa ada penekanan, sehingga semua dianggap sama, yang strategis hanya bagian depan / yang dekat dengan enterance saja.
o Efektifitas pemakaian ruangnya sangat tinggi.
o Terdapat pada pertokoan yang dibangun sekitar tahun 1960-an di Indonesia.
o Contoh : Pasar Senen & Pertokoan Duta Merlin.

2. Sistem Plaza
o Terdapat plaza / ruang berskala besar yang menjadi pusat orientasi kegiatan dalam ruang dan masih menggunakan pola koridor untuk efisiensi ruang.
o Mulai terdapat hierarki dari lokasi masing-masing toko, lokasi strategis berada di dekat plaza tersebut, mulai mengenal pola vide & mezanin
o Contoh : Plaza Indonesia, Gajah Mada Plaza, Glodok Plaza, Ratu Plaza, Plaza Semanggi, ITC Cempaka Mas, dll.

3. Sistem Mall
o Dikonsentrasikan pada sebuah jalur utama yang menghadap dua atau lebih magnet pertokoan dapat menjadi poros massa, dan dalam ukuran besar dapat berkembang menjadi sebuah atrium.
o Jalur itu akan menjadi sirkulasi utama, karena menghubungkan dua titik magnet atau anchor yang membentuk sirkulasi utama.
o Contoh : Pondok Indah Mall, Blok M, Atrium Senen, Mall Kelapa Gading 1-2, Mall Ciputra.


d. Menurut standar perencanaan DKI Jakarta, Pusat Perbelanjaan di Jakarta dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
o Pusat Perbelanjaan Lingkungan
Jangkauan pelayanan meliputi 3000-30.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang-barang primer (dipakai sehari-hari). Radius pelayanan 15 menit berjalan kaki, lokasinya berada di lingkungan pemukiman.
o Pusat Perbelanjaan Wilayah
Jangkauan pelayanan meliputi 30.000-200.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang sekunder (kebutuhan berkala). Radius pelayanan wilayah/ tingkat kecamatan. Pencapaian 2500 m dengan kendaraan cepat, 1500 m dengan kendaraan lambat, 500 m dengan berjalan kaki. Lokasinya berada di pusat wilayah.
o Pusat Perbelanjaan Kota
Jangkauan pelayanan meliputi 200.000-1.000.000 penduduk. Jenis barang yang diperdagangkan lengkap dan tersedia fasilitas toko, bioskop, rekreasi, bank, dan lain-lain. Pencapaian maksimal 25 menit dengan kendaraan. Lokasinya strategis dan dapat digabungkan dengan lokasi perkantoran.
I.1.1.3 Perkembangan Pusat Perbelanjaan di Jakarta
Pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta sangat beragam kondisi dan kelasnya. Banyaknya pusat perbelanjaan ini menunjukkan keadaan ekonomi masyarakat yang mulai membaik. Beberapa hal yang menyebabkan semakin maraknya pusat perbelanjaan di Jakarta, adalah :
o Mulai membaiknya perekonomian setelah terpuruk dari krisis sejak tahun 1998, mempengaruhi pendapatan penduduk, dan daya beli masyarakat tidak hanya ditujukan untuk kebutuhan primer saja tetapi juga hal-hal sekunder dan tersier.
o Kecenderungan masyarakat perkotaan yang menjadikan pusat perbelanjaan untuk berbelanja sekaligus sebagai tempat rekreasi sehingga pusat perbelanjaan pasti ramai dikunjungi pada hari libur.
o Sarana transportasi yang memadai seperti jalan tol, sehingga jarak tempuh ke pusat perbelanjaan dapat dicapai dengan waktu singkat. Hal ini dapat dilihat pada peta lokasi pusat perbelanjaan yang ada yaitu selain terletak di jalan arteri/ utama yang strategis, juga terletak di sekitar outter-ring road dan inner ring road.
Rata-rata tingkat hunian pusat perbelanjaan di Jakarta saat ini adalah pada pusat-pusat perbelanjaan strata title (kepemilikan perorangan) 70,07 %, sedangkan pada pusat-pusat perbelanjaan sewa lebih tinggi yaitu 89,80 %.
Nah dilihat dari Sistem Sirkulasi Pusat Perbelanjaan dengan jelas dapat disimpulkan:
1. Sistem dengan banyak koridor lebih mengarah ke pertokoan tempoe doloe dan ukuran ruang/kios kecil mulai dari 4-6 m2 dan juga lebar jalur sirkulasi lebih kecil. Unit retail/ kios menggunakan sistem jual.
2. Sistem Plaza pada era 90an telah menetapkan jalurnya yg benar dimana ukuran kios masih terbagi antara yg besar dan kecil juga sistem unit retailnya adalah bisa sistem sewa dan sistem jual, hanya saja di era 90an kecenderungan sistem Plaza ini menjadikan Pusat Perbelanjaan menjadi lebih elite dengan lebar sirkulasi yg memadai, tampilan Kios telah diperhatikan (shopping window) (Lihat contoh-contoh yang telah disebutkan di atas).
Sedang sekarang sistem plaza cenderung dipakai dengan pusat perbelanjaan yg menamakan diri mereka Trade Center dimana ukuran ruang retail/ kios kecil dan melakukan sistem jual pada kios yang ada pada Pusat Perbelanjaan itu.
Tidak ada yang salah dengan sistem jual di atas karena pada dasarnya sesuai Sistem Sirkulasi Pusat Perbelanjaan Sistem Plaza merupakan Pengembangan dari sistem sirkulasi Banyak Koridor.
3. Sistem Mall bisa dilihat setiap unit kios akan menghadap ke jalur sirkulasi utama sehingga tiap unitnya akan menjadi sangat strategis. Ukuran tiap-tiap unit retail juga besar diatas 24m2 dengan lebar umum minimum 4m tiap unit sehingga para penyewa dapat menampilkan/ mendisplay barang dagangan mereka dengan baik.. Dan sistem unit retailnya adalah sistem sewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar